NAMA Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) menjadi salah satu dokter yang menjadi viral di pertengahan tahun 2021 karena voice note miliknya yang beredar luas tentang puasa untuk melawan Covid-19.
Sebelumnya, di awal pandemi pada April 2020, dr. Piprim bersama 9 rekannya yang terdiri dari dokter, perawat, ahli kesehatan, serta ahli gizi dan laboratorium telah menerbitkan buku Optimalisasi Kondisi Metabolik Untuk Mencegah Fatalitas Covid-19. Penyusunan buku tersebut mendapat dukungan dari Nur Agus Prasetyo, Founder Keto-Fastosis Indonesia.
A bad host for Covid
Menurut dr. Piprim, pada dasarnya prinsip melawan Covid-19 adalah "Be a bad host for Covid".
Mengapa demikian?
"(Karena) konsep hubungan Covid dengan kita adalah pembajakan. Virus Covid ini adalah makhluk setengah hidup setengah mati, bukan makhluk hidup sesungguhnya. Dia adalah materi genetik RNA dibungkus kapsul dan ada duri-durinya yang masuk ke tubuh kita. Konsepnya membajak tubuh kita. RNA virus masuk, ditranskripsi—mencetak anak virusnya menggunakan nutrisi dari tubuh kita," ujar dr. Piprim saat menjadi bintang tamu di podcast Deddy Corbuzier, sembari menambahkan bahwa Covid-19 hampir sama dengan kanker.
Mengapa Covid mampu membuat 'kerepotan' yang berujung pada fatalitas?
"Karena yang dibajak oleh SARS-CoV-2 adalah ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) yang merupakan 'rem' inflamasi dalam tubuh kita. Bayangkan, ketika rem itu dibajak, inflamasi menjadi gaspol. Bisa mengakibatkan komplikasi karena terjadi hiperinflamasi (dalam bentuk) badai sitokin. Inflamasi yang tidak terkendali itu sebetulnya bisa diredakan (kemungkinannya) jika dari awal kita sudah banyak tidur dan puasa," kata dr. Pimprim lagi.
Diperparah komorbid
Terlebih pada orang dengan komorbid, misalnya obesitas, orang tersebut sudah berada dalam kondisi inflamasi kronik—low-grade chronic inflammation. Dengan atau tanpa Covid, obesitas dengan sindrom metabolik ini sudah termasuk dalam kondisi tersebut.
Bicara tentang hubungan komorbid-badai sitokin, Nur Agus Prasetyo dalam halaman Sambutannya di buku Optimalisasi Kondisi Metabolik Untuk Mencegah Fatalitas Covid-19 menulis bahwa komorbiditas akibat sindrom metabolik menyebabkan terjadinya gangguan pada respons imun yang normal terhadap infeksi, sehingga mengakibatkan disregulasi respon imun dengan ciri-ciri kemunculan badai sitokin.
Kondisi ini merupakan respons inflamasi yang abnormal dan berlebihan sehingga dapat meningkatkan risiko mortalitas pasien.
Sindrom metabolik seperti resistensi insulin merupakan akar masalah dari berbagai jenis komorbiditas saat ini dan merupakan target utama yang perlu diperhatikan dalam penanganan pasien Covid-19, dengan melakukan intervensi melalui pembatasan kalori yang menggunakan pembatasan jendela makan, dan juga pembatasan karbohidrat terserap pada asupan di makanannya.
Puasa mengoptimalkan proses autofagi
Menurut dr. Piprim, sebuah literatur menyebutkan bahwa ketika Covid masuk ke dalam tubuh seseorang yang autofagi-nya berjalan bagus, virus Covid tidak menemukan makanan untuk bisa bereplikasi, lalu virus akan dihancurkan. Cepat beralih ke adaptive immunity dan Covid selesai begitu saja.
Pun secara statistik, OTG atau pasien Covid-19 dengan gejala ringan tidak menyadari telah terpapar dan antibodi tidak terbentuk karena diselesaikan dengan kesehatan tubuh.
Secara sederhana, autofagi merupakan kondisi tubuh dengan tidak ada kalori atau makanan yang masuk atau kondisi banyak berolahraga, yaitu kondisi ATP (Adenosin Tripospat) berkurang, sehingga tubuh mengambil makanan dari lingkungan sekitarnya termasuk juga untuk detoksifikasi (pembersihan sel). Dalam detoksifikasi, sel calon kanker, protein yang mengalami kesalahan cetak di otak, atau sel 'cacat' lainnya dihancurkan. ATP adalah molekul penyimpan energi dalam jumlah besar.
"Karena itulah siapa yang rajin berpuasa, autofagi berjalan kuat, akan sangat bagus untuk kesehatan metaboliknya. Lebih bagus jika berolahraga di saat puasa," tegas dr. Piprim.
Tidur dan jauhi karbohidrat
Menurut dr. Piprim, ada dua jurnal yang menyatakan bahwa diet ketogenik tidak hanya menurunkan obesitas yang bertujuan menurunkan tingkat fatalitas tapi juga mengurangi fatalitas saat terkena penyakit.
Diet ketogenik dengan puasa dan tidak mengonsumsi karbohidrat akan menghasilkan keton (antiinflamasi yang sangat kuat, bahan bakar otak saat puasa). Jika Covid mengaktikan inflamasi dan mematangkan sitokin, keton sebaliknya—menghambat inflamasi. Keton bisa didapat setelah berpuasa 16 – 20 jam.
Harus diketahui bahwa persediaan lemak di tubuh manusia sangat banyak. Karena itu tidak perlu risau tubuh akan melemah bila porsi karbohidrat dihilangkan.
Rekor seseorang bisa berpuasa—tidak makan tapi tetap minum—adalah 382 hari. Namun jika seseorang tidak makan dan tidak minum, maka dia hanya bisa bertahan dalam dua minggu—namun hal ini tentu tidak etis dilakukan.
Tubuh manusia terbilang unik. Saat tidak makan dan masuk ke kondisi katabolik, autofagi akan berjalan baik. Imun aufagi akan mengaktifkan imunitas tubuh yang siap menyusun 'serangan balasan' untuk mengusir virus.
Seperti diketahui, saat tubuh demam (patogen masuk) kita biasanya tidak memiliki nafsu makan. Itu sebenarnya sebuah sinyal yang harus kita ikuti, yaitu untuk memperbanyak tidur dan tidak makan. Sinyal tersebut menandakan tubuh kita ingin berkonsentrasi mengeliminasi patogen.
KOMENTAR ANDA