Kak Seto menambahkan bahwa orangtua harus menjadi garda terdepan dalam melindungi anak. Jika anak stres, orangtua jangan tambah menekan anak dengan memarahinya.
"Saat ini yang terpenting adalah hak hidup. Jangan sampai anak terpapar virus yang membahayakan jiwanya. Jangan keluar rumah jika belum aman. Jika daerah masih dalam zona merah, jangan paksakan PTM. Lebih baik di rumah."
"Yang kedua adalah hak sehat. Jika anak masih harus di rumah saja, pastikan ia sehat, bukan hanya sehat fisik tapi juga sehat jiwa. Terlalu membebani anak dengan kurikulum sekolah juga termasuk kekerasan terhadap anak atas nama kurikulum atau pendidikan," tegas Kak Seto.
Ada satu kisah bersejarah yang mewarnai perjalanan hidup Kak Seto. Saat itu ia menerima tawaran seminar di kota Banda Aceh, pada hari minggu, menjelang penghujung tahun. Waktu yang seharusnya diperuntukkan untuk berlibur bersama keluarga.
"Saat rapat keluarga, anak sulung saya protes. Dia bilang, ayah kok, mau pergi ke Aceh hari Sabtu. Ayah sudah janji harus mengutamakan keluarga. Ini akhir tahun, tolong batalkan. Saya bilang tidak bisa," kisah Kak Seto.
Namun karena semua anggota keluarga protes, ia akhirnya menelepon pihak penyelenggara dan meminta izin untuk mengundur waktu seminar hingga awal tahun depan.
"Akhirnya kami pergi ke Bandung. Minggu pagi (26 Desember 2004), di layar televisi ada berita tsunami besar melanda Aceh. Kami sekeluarga langsung sujud syukur. Setelah itu bersama Kemensos, saya berangkat ke Aceh, dan anak saya yang pertama minta ikut. Kami ikut mengangkut kantong jenazah lalu mendirikan trauma center untuk anak-anak. Jadi terkadang, suara anak adalah suara Tuhan."
KOMENTAR ANDA