SETIAP insan tentu ingin menjadi pemenang. Nah, dengan menjalani bulan suci Ramadan, siapakah yang layak disebut pemenang sejati di Hari Raya Idul Fitri?
Apakah yang mengenakan baju baru? Apakah yang menyebar banyak parsel? Apakah yang tampilan paling glowing? Apakah yang tawanya paling nyaring?
Ada suatu ilustrasi menarik perihal pentingnya memahami siapa pemenang Ramadhan yang layak merayakan kemenangan Idul Fitri. Sekiranya dalam pertandingan sepak bola, lalu tim yang gawangnya kebobolan berkali-kali malah bersorak-sorai. Bukankah kita akan melihat itu sebagai keganjilan? Sudah jelas dirinya kalah bertanding, kenapa malah merayakan kemenangan?
Pemandangan teramat ganjil itulah yang selama ini terhampar setiap Idul Fitri menjelang. Orang-orang yang tidak berpuasa, mereka yang menyia-nyiakan Ramadhan, manusia-manusia itulah yang paling bersorak-sorai merayakan kemenangan Idul Fitri. Bagaimana bisa orang-orang yang sejatinya kalah meraih keberkahan Ramadhan malah berlagak bak pemenang Idul Fitri?
Kenapa ya?
Mungkin penyebabnya mereka belum memahami. Padahal hakikat pemenang sejati itu sudah sangat sering diucapkan oleh kaum muslimin dalam merayakan Idul Fitri, yaitu:
Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim, wa ja’alanaallaahu wa iyyakum minal aidin wal faizin wal maqbulin kullu ammin wa antum bi khair.
Artinya, semoga Allah menerima (ibadah Ramadhan) kami dan kamu, terimalah wahai Allah Yang Maha Mulia! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang (faizin) serta diterima (amal ibadahnya). Setiap tahun semoga kamu senantiasa dalam kebaikan.
Cukup panjang ya ucapan yang mengandung doa kemenangan tersebut, makanya lebih ringkas yang biasa disebut, “Minal aidin wal faizin.”
Apakah setiap pengucapnya memahami maksud kalimat doa itu?
Semoga saja iya, apalagi kalau bisa memahami hakikatnya, niscaya dirinya tidak akan salah kaprah menemukan siapa sesungguhnya pemenang Ramadhan (faizin) itu.
M. Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Quran (1996: 322) menerangkan, kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya.
Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.
Nah, penting bagi kita agar bagian pengecualian ini untuk dipahami, karena tidak memahami hal inilah yang membuat orang-orang yang kalah malah merasa jadi pemenang di Idul Fitri.
Surat An-Nisa ayat 72-73, yang artinya, “Dan sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran). Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, ‘Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka.’ Dan sungguh, jika kamu mendapat karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, ‘Wahai, sekiranya aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula).”
Lebih lanjut diterangkan pada buku Wawasan Al-Quran (1996: 323), kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebabkan dia dikecam oleh ayat di atas.
Berbeda dengan petunjuk Al-Quran yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu, tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).
Begitulah hebatnya Islam, pemenang Idul Fitri itu bukan satu orang, melainkan milik bersama. Kita tidak perlu mengalahkan siapapun hanya untuk jadi pemenang Idul Fitri. Kita tidak perlu menyakiti pihak manapun untuk meraih podium kehormatan.
Dalam praktiknya, Nabi Muhammad telah memberikan teladan tentang hal begini. Di suatu hari raya yang diliputi keceriaan, mata kebenaran Rasulullah menangkap keperihan di suatu sudut. Bahkan beliau mengetahui ada air mata mengalir di pipi seorang anak perempuan.
Nabi Muhammad menghiburnya dengan sepenuh kasih, dan menggali informasi perihal air mata itu. Anak perempuan tersebut telah yatim, ayahnya syuhada di medan jihad.
Rasulullah memberinya kemenangan besar di hari raya ketika berkata, “Maukah engkau Nabi Muhammad menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah menjadi saudarimu?”
Seketika mendung di wajahnya sirna berganti cerahnya harapan kemenangan. Bahkan anak malang itu pun layak menjadi pemenang. Dengan langkah riang dia mengikuti ke rumah Rasulullah.
Apabila prinsip hidup begini yang tertancap di lubuk sanubari, maka pantaslah kita menyebut diri bagian dari faizin. Bukan hanya pemenang di Hari Raya Idul Fitri, tetapi berlanjut dalam langkah-langkah kemenangan hidup berikutnya.
Bukankah puasa Ramadhan mengajarkan kita mengendalikan diri, membangun empati. Mestinya tidak ada lagi ruang bagi setan menghasut meraih kesuksesan tapi dengan menyakiti pihak lain. Cara itu tidak akan menghadirkan kemenangan sejati, kecuali kemenangan yang menyiksa batin sendiri.
KOMENTAR ANDA