SEPAHIT-pahitnya kehidupan yang tengah dilalui, perempuan pendiam itu tetap menunjukkan semangat luar biasa dalam berkurban. Dia menyisihkan dan mengumpulkan recehan demi recehan hingga dengan ajaib dirinya mampu rutin berkurban tiap tahun. Subhanallah!
Sengaja pula dipilihnya berkurban nun jauh di kampung halaman, karena dia menyadari di sanalah tersedia orang-orang yang benar-benar membutuhkan, yang rata-rata hanya makan daging setahun sekali.
Lantas siapakah yang menjadi inspirasinya sehingga demikian heroik dalam urusan kurban?
“Hajar,” sahutnya singkat.
Apabila kita hanya mengurbankan binatang ternak, maka dahulu kala Hajar demikian ikhlas mengurbankan putra tercinta demi bukti ketaatan terhadap Allah Swt. Berkat keikhlasan Hajar pula ibadah kurban pun tercipta, dan yang dikurbankan bukan manusia melainkan hewan.
Hanya saja, rasa was-was pun menghinggapi sanubarinya. Apakah dengan berkurban jauh di kampung halaman akan terlaksana ibadah kurban yang sesuai dengan syariat?
Dia sangat menyadari di kampungnya kebanyakan penduduk tidak begitu mendalam ilmu agamanya. Kegalauan akhirnya membuat perempuan yang memang pendiam itu pun bungkam dalam seribu kebingungan. Jauh di lubuk hatinya, dia menginginkan ibadah kurban yang sesuai syariat.
Berhubung ibadah kurban ini memang teramat penting, makanya ulama-ulama membahasnya dengan cukup terperinci di dalam karya-karyanya yang masyhur. Di antara pembahasan mereka itu perlu diulang-ulang, terkhusus pada bagian-bagian yang terkadang sering terabaikan.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah 5 (2018: 236) menerangkan, binatang yang boleh dikurbankan, di antara syarat binatang kurban adalah kebersihan dari cacat. Tidak boleh mengurbankan binatang yang cacat seperti berikut ini:
1. Binatang sakit yang jelas penyakitnya.
2. Binatang buta sebelah mata yang jelas kebutaannya.
3. Binatang pincang yang jelas kepincangannya.
4. Binatang kurus yang tidak berotak.
5. Binatang yang sebagian besar telinga atau tanduknya hilang.
Baik itu pihak yang berkurban, apalagi pihak penyelenggara hendaknya benar-benar memeriksa dan memastikan persyaratan binatang kurban. Utamanya berhati-hati dengan cacat yang membuat binatang itu tidak sah untuk dikurbankan. Ingatlah, kurban itu adalah dari binatang yang terbaik!
Imam Asy-Syafi’i dalam bukunya Al-Umm #4: Kitab Induk Fiqih Islam (2018: 377) menjelaskan, “Apabila seseorang membeli hewan kurban, dan dia belum menetapkan hewan itu (sebagai kurban) sampai akhirnya hewan itu terkena sesuatu yang tidak boleh terjadi pada saat atau sebelum penyembelihan dilakukan, maka hewan itu tidak dapat menjadi hewan kurban.”
“Apabila orang itu menetapkan hewan miliknya (sebagai kurban) dalam keadaan sehat, kemudian hewan itu terkena cacat tertentu, lalu hari-hari penyembelihan tiba, maka hendaklah dia menyembelih binatang itu dan itu sudah baginya.”
“Karena yang saya lihat pada hewan kurban itu adalah kondisinya pada saat ia ditetapkan sebagai kurban. Cacat apa pun yang mengenai hewan itu setelah penyembelihannya tidaklah perlu ditanya (diminta pertanggungjawabannya) oleh siapa pun kepadanya.”
Jadi, kriteria tidak cacat itu penting sekali dicermati sebelum ditetapkan sebagai pilihan hewan kurban. Di sinilah dinilai keseriusan dan kesungguhan seseorang dalam mengurbankan yang terbaik.
Terperincinya penjelasan Imam Syafi’i ini hendaknya diserap dengan bijaksana, selain ekstra hati-hati dengan kondisi cacat, perlu juga dipahami keadaan tertentu yang diberi keringanan. Sehingga terlihat agama Islam tidaklah teramat kaku, tetapi tidak pula boleh memudah-mudahkan persyaratan binatang kurban.
Hal yang tak kalah penting atau malah berbahaya jika sampai dilanggar ialah waktu penyembelihan yang diatur dengan ketat. Pada bagian ini, kehati-hatian penting sekali ditegakkan.
Sayyid Sabiq (2018: 237) menguraikan, disyaratkan agar binatang kurban tidak disembelih sebelum matahari terbit pada hari Id dan telah berlalu waktu yang cukup untuk mengerjakan shalat Id. Binatang kurban boleh disembelih kapan saja pada tiga hari setelahnya, baik malam maupun siang. Waktu penyembelihan habis dengan berlalunya hari-hari ini.
Barra’ meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini adalah mengerjakan shalat. Kemudian kita pulang dan menyembelih kurban. Siapa saja yang mengerjakan itu, maka dia telah mendapatkan sunah kita. Dan, siapa saja yang menyembelih sebelum itu, maka itu adalah daging yang dipersembahkannya untuk keluarganya dan sama sekali bukan merupakan kurban.”
Maka waspadalah dengan aturan waktu penyembelihan, sebab apabila terjadi kekeliruan waktu penyembelihan, maka bintang yang disembelih itu tidak dihitung lagi sebagai bernilai ibadah kurban.
Akhirnya, kita pun sama-sama menyadari Islam adalah agama yang mengedepankan akhlak, tidak terkecuali dalam menjalankan ibadah kurban. Kendati yang disembelih hanyalah binatang, tetap saja ada tuntunan adab yang menunjukkan kemuliaan agama suci ini.
Alauddin Za'tari dalam buku Fikih Ibadah Madzhab Syafi’i (2019: 559) menguraikan, untuk menyembelih ada beberapa adab yang diperhatikan oleh syariat Islam, yakni:
• Supaya berlaku lembut dan sayang kepada binatang sebelum disembelih, baik saat disembelih maupun sesudah disembelih.
• Tidak boleh menyembelih dengan menggunakan alat yang tidak tajam
• Tidak boleh menyiksa binatang sembelihan
• Tidak boleh memotong salah satu bagian tubuhnya
• Tidak boleh menenggelamkannya di air yang panas
• Tidak boleh mencabuti bulunya kecuali setelah diyakini nyawanya telah melayang.
Memang cukup detail agama Islam menuntun umatnya, tidak lain tidak bukan demi tercapainya hasil yang memuaskan bagi sang hamba, yang membuatnya bangga kelak melihat amalan kurbannya di mahkamah akhirat.
Nah, kembali kepada kisah pembuka! Bagaimana caranya perempuan tersebut dapat menggapai harapan yang demikian tinggi demi kesempurnaan ibadah kurbannya?
KOMENTAR ANDA