RUMAH mungil dua lantai itu dari hari ke hari tensinya bagai api dalam sekam. Di lantai atas, dihuni oleh suami istri dengan seorang putri yang masih kecil. Di lantai satu, didiami oleh keluarga sang suami; ibu dan saudara perempuannya dengan dua bocah putra-putrinya. Meski tinggal seatap, hubungan penghuni lantai atas dan lantai bawah tidaklah sejuk.
Sang suami lagi pening dengan meningkatnya tekanan dari ibu dan saudara kandungnya terkait keuangan. Saudara perempuannya itu usai dicerai oleh suaminya dan kontan ekonomi penghuni lantai bawah hancur lebur.
Malangnya, saudarinya itu sudah terbiaya hidup mewah, dan kini tidak mampu menyesuaikan diri dengan kegetiran nasib. Suami telah tidak ada, maka tekanan dialihkan kepada kakak laki-lakinya.
Istrinya tidak mampu terus-terusan menahan diri, terlebih keuangan penghuni lantai atas juga porak-poranda. Sementara sebagai istri dirinya telah bekerja pergi pagi pulang malam demi berjuang membela ekonomi keluarga. Tentunya kondisi akan makin perih jika yang dipikul dua keluarga sekaligus.
Sang suami termenung memikirkan siapakah yang harus didahulukan, apakah istri atau saudari?
Maka terbentang lagi ingatannya tentang kejadian sejak masa lalu hingga sekarang, betapa sang istri setiap pergi bekerja mengantar anak ke rumah orangtuanya menempuh dua jam perjalanan. Sore harinya giliran dirinya yang pulang kantor menjemput anak untuk diboyong pulang.
Lelaki itu berada di persimpangan, siapa yang hendak didahulukan? Apakah istri ataukah saudari?
Tekanannya makin menikam jantung ketika ada keluarga mengatakan dengan istri siapapun bisa bercerai, dan mana ada perceraian dalam hubungan darah.
Janganlah berpegang dengan perasaan, karena bisa membuat kita rapuh. Ada kok yang dapat dipegang, yaitu arahan yang diberikan Al-Qur’an.
Surat At-Tahrim ayat 6, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
M. Quraish Shihab pada Tafsir Al-Misbah Jilid 14 (2011: 177) menafsirkan, peliharalah diri kamu, antara lain dengan meneladani Nabi, dan pelihara juga keluarga kamu, yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu, dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka.
Ayat di atas mengingatkan pentingnya membimbing dan mendidik seluruh anggota keluarga. Namun, terlebih dulu dimulai dari memelihara diri sendiri dari berbagai perbuatan yang akan menjerumuskan pada pedihnya siksa neraka.
Kebanyakan orang tergigit lidah, sulit mengutarakan kebenaran jika berhadapan dengan keluarga.
Padahal dalam menunaikan hak tidak boleh berat sebelah apalagi sampai memakai jurus belah bambu; diangkat satu pihak tapi diinjak pihak yang lainnya.
Namun, memilih antara mendahulukan istri atau saudara merupakan perkara yang pelik. Sama istri telah terikat cinta nan suci, dengan saudara hubungan sedarah jauh lebih kental lagi. Mau pilih yang mana ya?
Baik, mari kita sederhanakan polemik ini!
Sebetulnya, manakah yang perlu didahulukan, apakah istri yang memiliki hubungan pernikahan suci atau saudara kandung yang punya hubungan darah?
Begini!
Sebetulnya, soal mendahulukan itu tidak ada kaitannya dengan istri atau saudara. Lantas apa dong?
Adakalanya istri yang didahulukan, dan ada masanya saudara kandung yang didahulukan. Lha, maksudnya bagaimana?
Tatkala ada hak istri yang mendesak maka kepada dirinyalah suami harus menyegerakan apa yang memang sepantasnya ditunaikan. Atas nama janji suci di hadapan Tuhan ketika ijab kabul maka jangan pernah suami menyia-nyiakan amanah Ilahi tersebut.
Adakalanya saudara kandung membutuhkan agar hak dirinya didahulukan, yang mana seorang lelaki perlu memenuhinya tanpa menunggu dulu sang istri memperoleh hal yang serupa.
Maka suami perlu benar-benar cermat melihat hak siapakah yang paling penting disegerakan, dan hak siapa yang dapat ditunda sampai waktu yang tepat. Kecermatan itu ibarat menarik sehelai rambut dari tumpukan tepung; rambut jangan sampai putus dan tepung jangan pula berserakan.
Sesama saudara kandung saja dapat terjadi pergesekan atau pasang surut hubungan. Ya, wajarlah kalau antara saudara dan istri dapat pula terjadi hubungan yang panas dingin. Dari itulah suami tidak diminta berpihak, kecuali kepada kebijaksanaan dalam membuat keputusan.
KOMENTAR ANDA