TIDAKLAH mungkin aturan agama bertujuan menyusahkan kaum hawa, justru sebaliknya, malahan mengusung misi mulia menjaga hak-hak perempuan dan melindungi mereka dari berbagai kemungkinan terburuk.
Pernikahan menandai berpindahnya tanggung jawab dari seorang ayah atau wali kepada seorang suami (lelaki). Pada episode ijab kabul itulah tergambar berpindahnya amanah yang sesungguhnya amat berat itu.
Dari itulah sejak awal mulanya agama Islam mewajibkan keberadaan wali pengantin perempuan dalam ijab kabul pernikahan. Bahkan aturan ini disebutkan dalam kitab suci dan juga hadis-hadis Nabi.
Wahbah az-Zuhaili dalam buku Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 9 (2021: 83-84) menerangkan:
Akad nikah tidak sah kecuali dengan kehadiran seorang wali. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya, “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” (al-Baqarah ayat 232).
Imam Syafi’i berkata, “Ini merupakan ayat yang paling jelas menerangkan tentang pentingnya wali, jika tidak demikian maka tidak ada artinya lagi para wali menghalangi perkawinan.”
Kutipan ini menyebutkan wali nikah itu wajib ada, tetapi tidaklah boleh baginya melarang, menghambat atau mencegah berlangsungnya pernikahan. Namun, apapun kondisinya wali nikah haruslah ada mendampingi dan menikahkan pengantin wanita.
Pada sejumlah hadisnya, Nabi Muhammad saw. juga menyebutkan kewajiban adanya wali nikah, sebagaimana diterangkan oleh Wahbah az-Zuhaili (2021: 83-84):
Juga karena sabda Nabi saw., “Tidak ada pernikahan melainkan dengan seorang wali.” Hadis tersebut mengandung pengertian bahwa pernikahan tanpa wali tidak dianggap sah oleh syariat. Hal itu diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan Aisyah, “Seorang perempuan yang dinikahi tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, batil, batil.” (HR. Ahmad)
Hadis yang pertama tidak boleh dipahami bahwa pernikahan tanpa wali itu sekadar kurang sempurna. Sebab sabda Nabi saw. harus dipahami sebagai hakikat syariat, yang berarti bahwa tidak ada pernikahan di dalam syariat melainkan dengan seorang wali.
Sedangkan dari hadis yang kedua tidak dapat dipahami bahwa pernikahan sah hanya dengan izin wali, karena hal itu sudah umum dilakukan. Juga tidak dapat dipahami, karena pada umumnya perempuan menikahkan dirinya sendiri tanpa izin walinya.
Hal itu diperkuat oleh hadis yang ketiga, yaitu sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Seorang perempuan tidak dapat menikahkan perempuan, juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah dan Darul Quthni)
Hadis di atas menunjukkan bahwasanya perempuan tidak mempunyai hak wali untuk menikahkan dirinya dan perempuan lain. Di dalam pernikahan, dia tidak mempunyai hak untuk mengucapkan kalimat ijab dan qabul. Dia tidak dapat menikahkan dirinya sendiri dengan seizin wali, pun tidak dapat menikahkan perempuan lain secara hak kewalian maupun wakil. Demikian juga dia tidak dapat menikahkan dirinya sendiri dengan hak kewalian maupun wakil.
Kesimpulannya: jumhur ulama berkata bahwa pernikahan tidak terlaksana dengan ungkapan dari kalangan perempuan. Jika ada seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri atau menikahkan orang lain, atau mewakilkan hak kewalian atas dirinya kepada orang lain untuk menikahkannya sekalipun dengan seizin walinya maka pernikahannya tidaklah sah. Itu karena syarat akad nikah belum terpenuhi, yaitu keberadaan seorang wali.
Demikianlah terperincinya aturan wajib adanya seorang wali nikah, bahkan perempuan itu tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Wali nikah mestilah ada, apapun keadaannya. Jadi, bukan hanya perkara izin tetapi kehadiran wali nikah harus ada untuk sebuah ijab kabul.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya penganut agama Islam, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Agama juga menjelaskan perihal wali nikah pada Kompilasi Hukum Islam (2004: 17-18):
Bagian Ketiga: Wali Nikah Pasal 19, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Pasal 20 (1), yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, 'aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari a. Wali nasab b. Wali hakim
Pasal 21 (1), wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung ayah kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Ternyata banyak juga pilihan wali nikah, yang hendaknya tidak menjadi alasan memungkiri wajibnya kehadiran wali nikah dalam ijab kabul.
KOMENTAR ANDA