NAMA Dr. Ir. Illah Sailah, M.S., kelahiran Garut 21 Mei 1958 ini dikenal sebagai sosok perempuan akademisi ternama di Tanah Air. Ia memegang jabatan sebagai Rektor Universitas Binawan Jakarta sejak Desember 2020.
Lulusan IPB, ITB, dan University of Queensland ini bertekad untuk menjadikan Universitas Binawan sebagai kampus berakhlak, berbasis digital, dan memiliki daya saing yang kuat di tingkat internasional.
Seperti apa perjalanan hidup Ibu Illah hingga sukses menjadi seorang inspirator di bidang pendidikan, berikut ini percakapan istimewa Farah.id bersama Sang Rektor.
Dengan segala prestasi dan jabatan yang Ibu pegang saat ini, seperti apa masa kecil Ibu?
Saya lahir dari pasangan ibu rumah tangga dan ayah seorang anggota ABRI yang saat itu bertugas di Garut. Masa kecil saya seperti anak-anak lainnya.
Saya anak bungsu dari dua bersaudara, yang menghabiskan masa kecil hingga SMA di Garut. Karena lahir dari keluarga ABRI, sejak kecil saya sudah terbiasa dididik dengan penuh kedisiplinan.
Mulai dari waktu makan, waktu belajar, waktu tidur, semua sudah diatur. Tapi orangtua saya tidak melakukannya dengan memerintah, tapi sudah menjadi kebiasaan. Karena itulah saya dulu tidak merasa terpaksa menjalankannya.
Banyak didikan dari Ayah yang terserap dalam keseharian saya. Dulu, kita belum banyak terkoneksi dengan dunia luar, yang kita terima lebih banyak dari orangtua, guru di sekolah, dan guru mengaji.
Ayah saya selalu mengatakan 'jadilah yang terbaik'. Itulah yang membuat saya mengikuti banyak kegiatan dan berbagai kejuaraan. Dari kecil saya menyukai seni, seperti angklung dan menari. Lalu mulai SMP, ikut klub basket. Saya kemudian terpilih jadi sekretaris OSIS di SMA.
Mengapa Ibu memilih untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor?
Awalnya saya ingin menjadi ahli farmasi di ITB (Institut Teknologi Bandung), karena dulu ibu saya sering sakit-sakitan. Tapi saat kelas tiga SMA, banyak mahasiswa IPB yang gencar mempromosikan kampus mereka. Akhirnya niat saya terbelokkan.
Ayah saya mengizinkan saya pergi jauh dari Garut dengan dua syarat: saya harus bisa berenang dan bela diri. Saya kemudian ikut klub karate hingga sampai sabuk hitam. Di sanalah mental dan fisik saya tertempa.
Seperti apa kehidupan Ibu sebagai mahasiswa?
Saya lebih tertarik dengan kehidupan organisasi daripada belajar, berawal dari keinginan saya untuk bisa bicara di depan umum.
Seorang kakak kelas menyarankan saya ikut organisasi jika ingin bisa public speaking. Di organisasi dilatih bagaimana cara berargumentasi dan lain-lain. Saya mengikuti banyak pelatihan, bisa dikatakan 75 persen kesibukan saya di luar intrakurikuler.
Saat kuliah lebih tertarik berorganisasi, mengapa Ibu kemudian menjadi dosen?
Awalnya karena saya dekat dengan dosen dan pernah jadi asisten dosen selama tiga semester. Dulu namanya Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian. Saya suka mengikuti proyek dari dosen yang diadakan kementerian. Saya ikut survei ke daerah-daerah seperti Jawa Tengah juga Sukabumi. Saya bertemu masyarakat, mewawancarai mereka, dan membuat notulensi.
Akhirnya saya melihat asyik menjadi dosen, waktu mengajarnya fleksibel. Menjadi dosen juga tidak melulu mengajar, ada kegiatan lain yang bisa dilakukan (mengerjakan proyek, dll). Saya menjadi dosen karena cita-cita saya menjadi ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan yang fleksibel.
Awalnya saya menjadi dosen Teknologi Hasil Pertanian, tapi lebih lama menjadi dosen Teknologi Industri Pertanian.
Dengan segudang pencapaian yang Ibu raih, apakah sejak kecil Ibu ditanamkan untuk menjadi perempuan berdaya?
Tidak diajarkan secara spesifik, tapi sejak kecil saya diajarkan untuk tidak boleh kalah dari laki-laki. Tapi tidak pernah ada perasaan tidak boleh kalah dari teman perempuan. Sampai saat ini, saya tidak pernah merasa bersaing dengan teman perempuan.
Di IPB, kami mendirikan Derap Perempuan Kreatif Indonesia Peduli Bangsa. Berawal dari WhatsApp grup, kini sudah berbentuk yayasan.
Tujuan kami awalnya adalah memperjuangkan IPB untuk memiliki pemimpin perempuan. Selama ini tidak pernah ada rektor perempuan. Padahal kompetensinya sudah banyak, jumlah dosen perempuan pun sudah banyak.
Di IPB sejak tahun 1994, saya menjadi Sekretaris Pusat Pendidikan dan Pelatihan Masyarakat (Pusdiklatnas). Saya mendapat banyak inspirasi dari pasangan suami istri Sjafri Mangkuprawira (saat itu Ketua LPPM IPB-Lembaga Pelatihan dan Pengabdian kepada Masyarakat) dan sang istri, Aida Vitayala (Ketua Pusdiklatnas)
KOMENTAR ANDA