SEBUAH perjalanan dapat membangkitkan rasa takjub seseorang, yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dan mengungkapkan bentuk jawaban yang baru pula terhadapnya. Ketika seseorang merasa hidupnya telah dimulai, dia akan berdiri di hadapan sebuah perjalanan masa lalu sebelum keberadaan dirinya. Lalu, timbul perasaan memiliki keterkaitan dengan suatu tempat, tetapi tidak menghentikan rasa keterasingan seseorang dalam arti spiritual dan eksistensialnya.
Dalam perjalanan, seorang musafir akan mengungkapkan akhlaknya dan menampakkan apa yang tersembunyi pada diri.
Safar (perjalanan) berasal dari arti kejernihan dan pancaran. Kata tersebut juga mengandung arti perjalanan, dan perjalanan identik dengan memperluas wawasan sehingga seringkali diasosiasikan dengan gerakan keilmuan.
Di antara dimensi peradaban dari perjalanan tersebut adalah kontrak “Al-Ilaf al-Qurashi”, yang dilakukan oleh Hashim bin Abd Manaf dengan raja-raja Syam, dan telah menciptakan kepentingan bersama dalam pertukaran manfaat antara jalur Syam dan Hijaz.
Kemudian anak cucu keturunan mereka membuat kontrak yang sama dengan raja-raja Yaman, jadi kontrak ini adalah alasan untuk menciptakan kepentingan bersama di antara orang-orang di wilayah tersebut. Hal ini berkontribusi pada menjaga keamanan dari kelaparan dan ketakutan.
Al-Qur'an menyanjung suku Quraisy atas kenikmatan ini dan mengarahkan mereka untuk bersyukur kepada pemberi nikmat tersebut (Allah) sebagai cara untuk melanggengkannya.
Sebagaimana firman Allah: “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah). Yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut”. (Quraisy/106:3-4)
Iman menghubungkan perjalanan manusia di bumi dengan perjalanannya ke langit, dan pemikiran sufi dalam Islam menggunakan kata safar (perjalanan) ketika berbicara tentang perjalanan manusia dan pencariannya untuk meraih ilmu tentang marifatullah (mengenal Allah) dan untuk mencapai kebahagiaan spiritual, seperti yang kita temukan dalam Muhyiddin Ibn.
Arabi dalam bukunya “Informasi tentang hasil perjalanan” di mana perjalanan, di kalangan Al’arifin billah (mereka yang mengenal Allah), terbagi menjadi tiga jenis: perjalanan dari Allah, perjalanan menuju-Nya, dan perjalanan bersama-Nya.
Perbedaan hati dapat memisahkan anak bangsa dari negara yang sama, sementara tempat yang jauh dapat bertemu ketika hati bersatu dan tujuan sama. Persatuan merupakan tujuan yang paling agung dari ibadah haji, para jama’ah haji datang dari berbagai penjuru dunia yang jauh menuju ke Baitullah (Rumah Allah) yang mulia, sesuai fiman-Nya:
“(Wahai Ibrahim), serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj/22: 27-28).
Salah satu tujuan haji adalah sebagai perwujudan praktis dari aturan “mengagungkan masjid dan menghormati perbedaan”, yang dapat membantu kita memahami peta keragaman budaya dan agama di masyarakat. Dari sini kita dapat memahami perbedaan antara aliran pemahaman dalam sejarah Islam yang merupakan keragaman yang berguna, yang telah berkontribusi dalam kebangkitan umat membangun proyek peradabannya.
Musim haji menyadarkan kita akan pentingnya menghubungkan jalur perjalanan haji dengan jalur gagasan dalam mendekatkan antara anak bangsa dan masyarakat. Kota suci bukan hanya tempat untuk melakukan ritual dan ibadah, melainkan juga pusat spiritual, budaya dan komersial yang menggabungkan hal-hal duniawi dan sakral dengan cara yang unik.
Selain menjadi penghubung antara agama dan ekonomi, para pembangun peradaban Islam memahami bahwa membangun bumi adalah ibadah, sehingga kita dapati pasar-pasar tersebar di jalur perjalanan haji dari Samarkand ke Hijaz, yang dikenal dengan Jalur Sutra. Para nenek moyang kita telah dapat menggabungkan antara keagungan spiritual dalam berkunjung ke tempat-tempat sakral dengan pembangunan yang berkelanjutan dengan membuka pasar-pasar untuk mengatasi kemiskinan, kelaparan, dan kemelaratan.
Dalam konteks Islam, kita sangat membutuhkan pemikiran yang memperdalam hubungan antara cinta kepada Ahl al-Bayt, yang diperintahkan Allah untuk dicintai, sebagaimana firman-Nya.
”Katakanlah (Nabi Muhammad), Aku tidak meminta kepadamu suatu imbalan pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (Al-Syura/42: 23)
Cinta kepada para sahabat Rasul yang dipuji Allah dengan firman-Nya: “Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya . . .” (Al-Fath/48: 29)
Hal tersebut telah memberi kita pemahaman yang komprehensif terhadap pandangan yang mendalam tentang semangat persatuan dan kerukunan dalam diri kita.
Perbedaan antara umat dan bangsa merupakan medan interaktif yang mengarah pada altruisme yang efektif. Perkenalan antar manusia adalah proses timbal balik yang dilakukan oleh kelompok yang berbeda dan beragam, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu”. (Al-Hujurat/ 49:13).
Para cendikiawan tidak boleh tinggal diam terhadap meningkatnya faktor-faktor perpecahan di kalangan umat Islam dan upaya untuk membasmi, memberi mereka legitimasi agama, dan kita tidak boleh mengabaikan bahaya wacana takfir (pengkafiran) dan ujaran fitnah yang melukai umat Islam, yang melanda wilayah luas platform media sosial.
Intensitas perbedaan antara pengikut satu agama dan satu budaya meningkat tajam di saat moral bangsa merosot dan pengetahuan mereka menurun, dan hal ini yang kita saksikan dalam sejarah Barat abad pertengahan, di mana konflik berlangsung selama beberapa dekade antara Katolik dan Protestan.
Keterbukaan terhadap pemikiran universal manusia tidak dapat mendalam dan bermakna tanpa keterbukaan terhadap keragaman internal dalam konteks budaya dan agama kita, dan semakin kaya dan konsisten keragaman internal, kita semakin sukses dalam menyerap dan mengambil manfaat dari keragaman eksternal.
Menjunjung tinggi martabat manusia dan menghormati privasi budaya dan agamanya merupakan prasyarat untuk setiap proyek beradab yang layak bertahan hidup. Salah satu syarat proyek ini juga menghindari logika mayoritas, kemenangan dan dominasi, yang mau tidak mau berujung pada pengucilan dan merebaknya suasana tirani. Saat ini, kita sangat perlu menekankan legitimasi "hak untuk berbeda", daripada ditarik ke dalam logika kekuatan di mana kekuatan mengidentifikasi dengan kebenaran, dan yang lemah di dalamnya menjadi pihak bersalah.
KOMENTAR ANDA