Jauh dari logika paksaan, Al-Qur'an menegaskan adanya kontradiksi hakiki antara pemaksaan agama di satu pihak dengan hakikat keyakinan agama di pihak lain. , seperti yang diajarkan Al-Qur'an kepada kita:
“Dan katakanlah (Nabi Muhammad) kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang menghendaki (beriman), dan hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur) biarkan dia yang kufur” (Al-Kahfi/18: 29).
Eksklusi agama tidak kalah buruknya dengan eksklusi politik, dan mungkin bentuk eksklusi agama yang paling buruk adalah ketika ia menjadi alat untuk mencapai tujuan utilitarian yang tidak terkait dengan agama.
Sudah tiba saatnya untuk menghadapi penyebab sebenarnya dari kegagalan ekonomi dan politik kita, jauh dari mengingat masalah sejarah yang kontroversial yang tidak akan berkontribusi untuk menyelesaikan masalah kita yang sebenarnya dalam realitas kita saat ini.
Salah satu landasan moral terpenting untuk perbedaan adalah apa yang disebut aturan emas, yang kita temukan di sebagian besar agama, dan yang mengatakan: "Cintailah orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri."
Di sini dapat dikatakan bahwa mengejek dan merendahkan keyakinan orang lain dan ajaran agama mereka atau sekte mereka mencerminkan masalah akhlak yang diingatkan dengan keras oleh Al-Qur’an sebagaimana firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang (diolok-olok itu) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)” (Al-Hujurat/49:11).
Sebaliknya, Islam melarang menghina orang yang berbeda agama sekalipun mereka musyrik: “Dan janganlah kamu menghina (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat Kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang mereka telah kerjakan (Al-An'am/6:108).
Seorang muslim diperintahkan untuk menghadirkan model akhlak yang harus diteladani dalam hubungan antar pemeluk agama, lalu bagaimana dengan akhlak kita dengan ahli kiblat dan mazhab muslim!
Apapun perbedaan kondisi dan titik tolak politik, maka makna budaya dan spiritual umat tetap makna yang paling mendalam, dan di sini kami membangkitkan pentingnya kembali kepada keutamaan Syura, yang dimulai dari satu tanah air dan meluas ke tanah air kaum muslimin lain yang jauh.
Kesimpulannya, saat kita menyambut Idul Adha, kita sangat membutuhkan untuk membangkitkan makna kurban dan pemberian yang dilakukan Ibrahim Al-Khalil dalam rangka mencapai cinta dan ridha Allah dan untuk berhimpun bersama. Semangat persatuan di antara orang-orang beriman agar benar-benar menjadi rahmat bagi dunia dan menjadi bangsa yang moderat yang menjadi saksi bagi semua orang.
Tulisan ini diterjemahkan oleh Murodi Ahmad
KOMENTAR ANDA