Dialog “Peran Al Azhar dan Muhammadiyah dalam Penyebaran Wasatiyah Islam dan Mewujudkan Perdamaian Dunia” bersama Grand Syekh Al Azhar. (Dok. PP Muhammadiyah)
Dialog “Peran Al Azhar dan Muhammadiyah dalam Penyebaran Wasatiyah Islam dan Mewujudkan Perdamaian Dunia” bersama Grand Syekh Al Azhar. (Dok. PP Muhammadiyah)
KOMENTAR

GRAND Syekh Al Azhar Mesir Ahmed Al Tayeb mengunjungi Muhammadiyah dan berdialog dengan jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, serta para tokoh agama lainnya pada Kamis (11/7) Masjid At-Tanwir lantai 6, Menteng Raya, Jakarta Pusat.

Dalam dialog bertajuk “Peran Al Azhar dan Muhammadiyah dalam Penyebaran Wasatiyah Islam dan Mewujudkan Perdamaian Dunia”, disampaikan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafiq Mughni, bahwa Muhamadiyah telah menerima Zayed Award Human Fraternity (ZAHF) di bidang persaudaraan kemanusiaan.

“Umat Islam sangat berhutang jasa kepada Muhammadiyah, sehingga Muhammadiyah berhak atas penghargaan internasional Zayed Award”, tegas Grand Syekh Al Azhar.  

Bahkan, masih menurutnya, penghargaan itu lebih kecil daripada apa yang seharusnya didapatkan oleh Muhammadiyah. “Mengingat kontribusinya dalam hal pendidikan, sosial, dakwah, dan mempromosikan perdamaian dunia”, imbuhnya

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan penghargaan yang tinggi dan terima kasih kepada keluarga besar Al Azhar yang telah menjadi role model bagi Muhammadiyah dalam pengembangan pendidikan dan penyebaran Islam. Bagaimana agama membawa nilai nilai kemajuan dan peradaban, yang membawa inspirasi Islam sebagai dinul hadharah.  

“Al Azhar bagi kami dan bahkan bagi umat Islam bangsa Indonesia sudah lekat dalam sejarah perjalanan dunia karena kami yakin dan kami tahu belajar dari sejarah bahwa Al Azhar adalah salah satu dari tonggak peradaban Islam,” papar Haedar.

Haedar pun menyampaikan kelekatan Muhammadiyah dan Al Azhar. Kiai Dahlan, pendiri Muhammadiyah belajar dan menyerap ide ide dari Muhammad Abduh Al Azhar. Demikian pula Ketua Muhammadiyah tahun 1937-1942, Kiai Haji Mas Mansur adalah lulusan Al Azhar.

Prof Kahar Muzakir, pahlawan Nasional, juga pendidikan Al Azhar dan menjadi diplomat setelah Indonesia Merdeka. Buya Hamka pada tahun 1958 bahkan mendapat gelar dari Al Azhar setingkat doktor Honoris Causa.

“Ini menunjukan betapa rekat dan lekatnya Muhammadiyah dengan Al Azhar,” ungkap Haedar.

Oleh karena itu, kunjungan Grand Syekh Al Azhar memberi muatan bagi Muhammadiyah dan Al Azhar untuk terus menyebarluaskan ide-ide wasatiyatul Islam.

“Bagi kami bahwa ayat wa kazalika jaalnakum ummataw wasatal terkait dengan litakunu syuhada'a alan-nasi.  Yakni umat yang wasatiyah, yang tengahan itu bukan hanya adil, baik, unggul, tetapi juga maju dan menjasi syahid bagi peradaban manusia di berbagai bidang,” jelasnya lagi.

Mewujudkan Palestina Merdeka

Haedar pun memberi penghargaan tinggi atas kiprah Grand Syekh Al Azhar yang telah mempelopori wasatiyatul Islam di tingkat dunia, yang telah bersama Paus Fransiskus terus bergerak untuk menjaga bandul wasatiyah di tengah dunia global yang penuh dengan ekstremitas. 

Lebih lanjut Haedar berharap agar di tingkat dunia Grand Syekh Al Azhar bersama tokoh-tokoh dunia dan dunia Islam terus menyuarakan Palestina yang merdeka dan tata dunia baru yang damai di Timur Tengah, sebagai bukti bahwa Islam atau dunia Islam adalah sebagai pelopor di garda depan untuk memberi solusi.

“Kalau Palestina belum menemukan solusi yang terbaik, sampai kapan pun akan menumbuhkan benih benih ekstremitas dalam berbagai dimensi kehidupan” Haedar mengingatkan.

Titik temu Al Azhar dan Muhammadiyah menurut Haedar yakni terus menyuarakan pesan Islam yang membawa kemajuan. Islam sebagai dinul hadharah, di mana Muhammadiyah terus bergerak di bidang prndidikan, kesehatan, sosial, ekonomi dan dakwah yang mencerdaskan dakwah yang mencerahkan.

Ketertinggalan ekonomi juga menjadi sorotan dalam dialog tersebut. Menurutnya problem umat Islam Indonesia adalah ketertinggalan di bidang ekonomi yang menyebabkan belum menjadi khairul ummah.

“Kita belum menjadi umat terbaik”, ucapnya.

Ekonomi tertinggal menyebabkan secara politik menjadi marjinal, akibat lebih jauh membawa pada rusaknya  tatanan kehidupan di bidang etika dan moral akibat begitu dahsyatnya gelombang perubahan sosial.

Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2015), menyampaikan bahwa Muhammadiyah berdiri mendapat pengaruh sangat kuat dari pemikiran islah dan tajdid dari Syeikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Itulah mengapa Gerakan Muhammadiyah mewarisi sanad keilmuan dari Al Azhar.

Waspadai Gerakan Inkar Sunnah

Grand Syekh Al Azhar menyampaikan sebuah orasi ilmiah singkat dan padat tentang hubungan Al Quran dengan sunnah nabi. Menurutnya organisasi Muhammadiyah yang bergerak dalam bidang tajdid, menghidupkan sunnah dan memberantas bid’ah,

Grand Syekh Al Azhar menyampaikan bahwa tidak mungkin menerapkan kandungan Al Quran tanpa mengikuti sunnah Nabi Muhammad. Hampir semua rukun Islam itu tidak bisa dioperasionalkan kalau mengandalkan Al Quran semata.

Harus juga berdasarkan contoh dari Rasulullah SAW. Tidak mungkin hanya mengandalkan teks teks al Quran lantas begitu saja  dapat menjalankan  ajaran al Quran dalam kehidupan nyata.




Menteri HAM Natalius Pigai Terima Penghargaan "Tokoh Nasional Demokratis dan Berintegritas” dari JMSI

Sebelumnya

Konsultasi Publik “Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Media Massa yang Bertanggung Jawab, Edukatif, Jujur, Objektif, dan Sehat Industri (BEJO’S)": Tantangan Menyelaraskan Idealisme dan Keberlanjutan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News