Ciptakan sistem baru. Yang harus dipatuhi semua karyawan dan keluarganya. Mungkin ada karyawan yang tidak mau terikat sistem baru itu. Carilah karyawan lain yang mau. Masih banyak yang perlu pekerjaan.
Departemen HRD di perusahaan itu harus mendapat beban tambahan. Sebagai panglima garis depan hidup baru.
Tahapannya dimulai dari pembuatan peraturan perusahaan: karyawan harus lockdown dulu di rumah masing-masing. Bersama keluarga.
Ciptakan sistem pelaporan --menggunakan teknologi masa kini yang murah itu-- ke HRD. Isinya tentang pelaksanaan lockdown itu.
Harus ada laporan setiap hari. Misalnya ada berapa orang di rumah itu. Punya pembantu atau tidak. Pembantu tinggal di rumah itu atau tidak. Punya sopir atau tidak. Sopirnya tinggal di rumah itu atau tidak.
Dalam laporan harian ke HRD itu termasuk: siapa yang hari itu ke luar rumah. Bahkan HRD perlu menerapkan aturan: untuk keluar rumah harus minta izin perusahaan. Lewat sistem. Semacam apps internal perusahaan.
Kalau perlu setiap karyawan dan keluarganya dipasangi gelang elektronik. Biar keren. Seperti yang dipakai dengan cantiknya oleh Sabrina Meng, bos Huawei, di Kanada itu.
Atau bisa berbentuk gelang kaki seperti Marlena --primadona dalam ludruk yang gayanya kidas itu.
Juga harus ada aturan soal tamu. Maksud saya ada larangan terima tamu. Atau ada prosedur baru ketika ada tamu: tamu harus di luar pagar. Tuan rumah di dalam pagar.
HRD bisa melengkapi aturan yang lebih ketat.
Evaluasilah pelaksanaan aturan itu: apakah masih ada yang bolongnya.
Setelah 14 hari aman, semua karyawan boleh bekerja lagi. Berarti satu kantor/perusahaan sudah aman untuk bekerja kembali.
Tentu dengan bekerja gaya baru.
Hanya saja yang tugas ke luar kantor harus ada sistem pelaporan disiplin jaga jarak dan disiplin masker.
Manajer HRD pasti mampu mendapat beban tugas baru itu. Termasuk mengevaluasi di mana saja ”bolong” --nya sistem baru itu.
Misalnya teman saya di Jakarta ini.
Dia dengan bangga merasa aman. Sudah 100 persen lockdown di rumah. Bersama suami dan anak-anaknya. Pembantu juga tinggal di situ. Demikian juga sopirnya.
Aman.
”Apakah tidak ada orang lain lagi yang tinggal di rumah Anda?” tanya saya.
”Ada dua orang. Masih keluarga. Tapi di kamar terpisah. Di bagian belakang rumah,” jawabnya.
”Pintu masuk keduanya terpisah? Tidak lewat pintu rumah?” tanya saya lagi.
”Tidak. Mereka lewat samping,” jawabnya.
”Apakah dari kamar mereka itu ada pintu tembus ke rumah Anda?”
”Ada.”
”Pintunya bisa dibuka?”
KOMENTAR ANDA